Pages

Sabtu, 01 Februari 2014

Makalah Ulul Albab


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sosok manusia ulul albab adalah orang yang mengedepankan dzikr, fikr dan amal shaleh. Ia memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang lembut dan semangat serta jiwa pejuang (jihad di jalan Allah) dengan sebenar-benarnya perjuangan. Ia bukan manusia sembarangan, kehadiranya di muka bumi sebagai pemimpin menegakkan yang hak dan menjauhkan kebatilan.
Ulul albab adalah manusia yang bertauhid. Kalimat syahadat sebagai pegangan pokoknya, “Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah.” Sebagai penyandang tauhid, ia berpandangan bahwa tidak terdapat kekuatan di muka bumi ini selain Allah. Semua makhluk manusia berposisi sama. Jika terdapat seseorang atau sekelompok/ sejumlah orang dipandang lebih mulia, adalah oleh karena ia atau mereka telah menyandang ilmu, iman dan amal shaleh (taqwa). Penyandang derajat ulul albab tidak akan takut dan merasa rendah di hadapan siapa pun sesama manusia. Kelebihan seseorang berupa kekuasaan, kekayaan, keturunan/ nasab dan keindahan/ kekuatan tubuh tidak menjadikannya ia lebih mulia dari orang lain.
Komunitas UIN Maulana Malik Ibrahim Malang berjiwa dan berwatak ulul albab. Orientasi hidup ulul albab hanya pada ridho Allah swt. Kegiatan mendidik dan belajar yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa semata-mata hanya untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Mencari ilmu bukan sebatas untuk memperoleh ijazah dan kemudahan dalam mencari pekerjaan dan rizki. Ulul albab selalu yakin pada janji Allah bahwa rizki seseorang selalu berada di bawah keputusan tuhan. Tidak selayaknya seseorang merisaukan terhadap rizki dan jenis pekerjaan yang akan diperoleh. Kebahagiaan bukan semata-mata terletak pada keberhasilan mengumpulkan rizki, tetapi pada kedekatan dengan Yang Maha Kuasa, Allah swt. Mahasiswa mencari ilmu pengetahuan lewat observasi, eksperimen dan membaca berbagai literature bukan semata-mata untuk memperoleh indeks prestasi (IP) dan/ atau sertifikat/ ijazah, apalagi dikaitkan untuk mendapatkan pekerjaan dan rizki, tetapi adalah kewajiban agar menyandang derajat ulul albab.
Identitas ulul albab diyakini dapat dibentuk lewat proses pendidikan yang mampu membangun iklim yang dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya dzikr, fikr dan amal shaleh. Menyesuaikan dengan konteks ke-Indonesia-an, bentuk riil pendidikan UIN Malang diformat sebagai penggabungan antara tradisi pesantren (ma’had) dan tradisi perguruan tinggi. Pesantren telah lama dikenal sebagai wahana yang berhasil melahirkan manusia-manusia yang mengedepankan dzikr, sedangkan perguruan tinggi dikenal mampu melahirkan manusia fikr dan selanjutnya atas dasar kedua kekuatan itu melahirkan manusia yang berakhlak mulia dengan selalu berkeinginan untuk beramal shaleh.


B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa yang dimaksud dengan Ulul Albab?
2.      Apa dasar dari Ulul Albab?
3.      Bagaimana kepribadian Ulul Albab?


C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Ulul Albab.
2.      Untuk mengetahui dasar dari Ulul Albab.
3.      Untuk mengetahui kepribadian dari Ulul Albab.



D.    MANFAAT PENULISAN
            Selain untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Tarbiyah Ulul Albab. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai pengertian, dasar dan kepribadian Ulul Albab.
            Seperti kita tahu, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini berlandaskan Ulul Albab, sehingga lewat penulisan makalah ini mahasiswa menjadi lebih paham tentang apa itu Ulul Albab.
            Bagi dosen pribadi makalah ini dapat menjadi acuan untuk mengetahui tingkat pemahaman mahasiswa kelas Psikologi B akan materi yang diberikan.










BAB II
PEMBAHASAN



A.    Pengertian Ulul Albab
Istilah Ulul Albab (اولو الالباب) dapat ditemukan dalam teks Al-Qur’an sebanyak 16 kali di beberapa tempat dan topik yang berbeda, yaitu dalam QS Al Baqarah: 179, 197, 269, QS Ali Imran: 7, 190, QS Al Maidah: 100, QS Yusuf: 111, QS Al Ra’d: 19, QS Ibrahim: 52, QS Shad: 29, 43, QS Al Zumar: 9, 18, 21, QS Al Mu’minun: 54, dan QS Al Thalaq: 10.
Jika diamati kata lain yang menyertainya, dapat diketahui bahwa اولو الالباب berhubungan dengan qishash, haji, hikmah, teks dan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an, penciptaan makro kosmik, kebaikan dan keburukan, kisah para nabi, respon masyarakat terhadap Al-Qur’an, ajaran tauhid sebagai tujuan utama Al-Qur’an diturunkan, fungsi Al-Qur’an sebagai renungan, berkumpulnya keluarga rahmat, abid (orang ahli ibadah) dan ‘alim (orang berpengetahuan/ intelektual) memiliki stratifikasi lebih tinggi dari yang lain, orang yang mendengarkan lalu mengikuti kebaikan, perintah memperhatikan makro kosmik, hidayah dan dzikir, dan perintah bertaqwa agar terhindar dari siksa Allah.
Berdasarkan atas ayat-ayat tersebut di atas, para intelektual muslim Indonesia memahami, memberikan definisi dan karakteristik اولو الالباب secara etimologis, kata albab adalah bentuk plural dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang disebut lubb. Berdasarkan definisi etimologi ini, dapat diambil pengertian terminologi bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Agar sedikit berbeda, AM Saefuddin menyatakan bahwa ulul albab adalah intelektual muslim atau pemikir yang memiliki ketajaman analisis atas fenomena dan proses alamiah, dan menjadikan kemampuan tersebut untuk membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Dengan bahasa yang lebih rinci lagi, Jalaluddin Rahmat mengemukakan lima karakteristik ulul albab, yakni:
1.      Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah (QS. Ali Imran: 190).
2.      Memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari kebaikan dan keburukan, sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan tersebut (QS. Al Maidah: 3).
3.      Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain (QS. Al Zumar: 18).
4.      Memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain, memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat (QS. Ibrahim: 2 dan Al Ra’d: 19-22).
5.      Merasa takut hanya kepada Allah (QS. Al Baqarah: 197 dan Al Thalaq: 10).

Karakteristik ulul albab yang dikemukakan oleh Jalaluddin di atas, item 1-3 dan 5 terkait dengan kemampuan berfikir dan berdzikir, dan item keempat terkait dengan kemampuan berkarya positif dan kemanfaatanya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, insan ulul albab adalah komunitas yang memiliki keunggulan tertentu dan berpengaruh besar pada transformasi social. Kualitas dimaksud adalah terkait dengan kedalaman spiritual (dkikr), ketajaman analisis (fikr) dan pengaruhnya yang besar bagi kehidupan (amal shaleh). Tegasnya, kualitas ulul albab adalah kualitas yang komprehensif atau dalam bahasa Dawam Rahardjo sebagai orang atau sejumlah orang yang memiliki kualitas yang berlapis-lapis.
Tiga elemen ulul albab, yakni dzikr, fikr dan amal shaleh bukanlah kualitas yang satu sama lain saling berdiri sendiri. Di sini terdapat dialektika yang menyatakan bahwa aspek dzikir juga mencakup fikir. Artinya bahwa kegitan berdzikir juga kegiatan fikir, namun memiliki tingkatan lebih tinggi, karena pemikiran tersebut mengarah kepada upaya maksimal mencapai kebenaran hakiki yang bersifat transendetal. Dengan kata lain, dzikir sesungguhnya juga aktivitas berfikir namun disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk mencapai hakikat sesuatu, yang mengarah kepada pengakuan atas keagungan Maha Karya Tuhan sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 190. Realitas empiris yang harus diamati dan dipelajari, yakni pergantian siang dan malam dalam ayat tersebut, merupakan salah satu piranti kuat bagi seseorang yang memperhatikan kekuasaan Tuhan. Dengan demikian, aktivitas dzikir yang mengikutkan fikir merupakan kekuatan yang mengantarkan seseorang memperoleh derajat ulul albab.
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat di atas, dapat dinyatakan bahwa kesombongan dan keangkuhan karena prestasi yang didapatkan seseorang dalam mengembangkan keilmuan, jauh dari kualitas ulul albab. Pengakuan akan kekuasaan Tuhan merupakan pernyatan yang selalu dikumandangkan oleh seseorang yang berkualitas ulul albab.
Keragaman definisi di atas, dapat dirangkum pengertian dan cakupan makna ulul albab dalam tiga pilar, yakni: dzikir, fikir dan amal shaleh. Secara lebih detail, ulul albab adalah kemampuan seseorang dalam merenungkan secara mendalam fenomena alam dan sosial, yang hal itu mendorongnya mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan berbasis pada kepasrahan secara total terhadap kebesaran Allah, untuk dijadikan sebagai penopang dalam berkarya positif.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakteristik dan cirri-ciri ulul albab adalah memiliki kualitas berupa kekuatan dzikir, fikir dan amal shaleh. Atau dalam bahas lain, masyarakat yang mempunyai status ulul albab adalah mereka yang memenuhi indikator berikut:
1.      Memiliki ketajaman analisis;
2.      Memiliki kepekaan spiritual;
3.      Optimisme dalam menghadapi hidup;
4.      Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani, individual-sosial dan keseimbangan dunia-akhirat;
5.      Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan;
6.      Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial;
7.      Memiliki kemandirian dan tanggung jawab; dan
8.      Berkepribadian kokoh;
                                           

B.     Dasar Ulul Albab
Sebagai sumber dan informasi dari berbagai macam pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science), Al Qur’an mendorong umat Islam untuk senantiasa memiliki ghirah (semangat) tinggi dan motivasi yang kuat dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Motivasi pengembangan keilmuan yang demikian kuat diantaranya tampak pada ayat pertama yang diturunkan Tuhan kepada Rasulullah, yakni perintah iqra (membaca), yang terdapat dalam surat Al Alaq ayat 1-5 berikut:

اقرء باسم ربك الذى خلق. خلق الانسان من علق. اقرء وربك الاكرم. الذى علم بالقلم. علم الانسان مالم يعلم (  العلق: 1-5)

Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan (1) Dia telah mencipakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan tuhanmulah yang paling pemurah (3) Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)

Lima ayat di atas menunjukkan betapa Islam concern terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan dengan melihat kepada semangat ayat tersebut, keilmuan Islam dibentuk sebagai ilmu yang holistik, yaitu ilmu yang tidak membedakan antara ilmu yang bersumber dari ayat-ayat Qur’aniyah pada satu sisi, dan ayat-ayat Kauniyah pada sisi lain. Kata “اقرء” (membaca) merupakan petunjuk Al Qur’an akan pentingnya penggunaan alat-alat inderawi (mata dan akal) sebagai pengumpulan informasi pengetahuan. Untuk itulah, Al Qur’an (islam) sejak awal tidak menafikan adanya ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pengamatan inderawi terhadap sunnatullah.
Frasa “باسم ربك” memberikan pengertian bahwa kegiatan pembacaan terhadap alam, seperti yang dijelaskan sebelumnya, harus didasarkan pada sebuah keyakinan teologis. Keyakinan tersebut dalam perspektif Al Qur’an menjadi tolok ukur hadirnya nilai-nilai ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pengamatan inderawi terhadap fenomena-fenomena kealaman.
Sedangkan frase “خلق الانسان من علق” mempertegas petunjuk kepada kita bahwa hal yang harus diamati oleh manusia pertama kali adalah menyangkut tentang dirinya sendiri, tentang bagaimana proses penciptaannya, gejala-gejala biologis yang berada di dalamnya, dan segala hal yang berkaitan dengan itu. Disinilah letak motivasi Al Qur’an terhadap berkembangnya ilmu-ilmu alam, khususnya biologi. Penyelidikan terhadap diri manusia, pada akhirnya akan menghadirkan sebuah kesadaran bahwa manusia berada diantara sekian penciptaan yang besar (makrokosmik). Untuk mempelajari alam semesta yang lebih luas itu, diperlukan ilmu fisika dan kimia agar manusia dapat mempelajari alam luas, sehingga manusia bisa mencapai kepada kesadaran yang satu (ربك).
Dengan demikian, arti membaca dalam konteks ini tidak sekedar membaca teks tetapi juga membaca konteks. Bahkan makna iqra’  dalam arti membaca konteks, yakni situasi dan kondisi sosial, dalam konteks makna iqra’ dalam QS. Al Alaq ini lebih relevan jika dikaitkan dengan kondisi pribadi Rasulullah berikut setting sosio-kultural pada saat itu. Hal ini terbukti dalam beberapa indikasi berikut:
1.      Strategi dakwah Rasulullah yang diskenario oleh Rasulullah pada saat beliau di Makkah, adalah didasarkan kepada keberhasilan beliau membaca situasi dan kondisi masyarakat kota kelahiran beliau tersebut.
2.      Rasulullah Muhammad tidak memiliki kemampuan membaca dan bahkan menulis (teks). Artinya, ketidakmampuan Rasulullah dalam hal menbaca dan menulis teks, namun tetap diperintahkan untuk membaca bahkan perintah tersebut diulangi hingga tiga kali tersebut, semakin memperkuat makna iqra tidak sekedar membaca teks tetapi membaca konteks.
3.      Ketidakmampuan Rasulullah dalam hal membaca dan menulis, memiliki blessing teologis, sebagai bukti historis tersendiri bagi upaya membantah tuduhan para orientalis bahwa Islam adalah agama yang disistematisir oleh Rasulullah, atau Al Qur’an sebagai hasil kreasi tangan Rasulullah SAW sendiri.
Merespons perintah Allah yang diapresasi oleh Rasulullah tersebut, menuntut kepada semua umat Islam untuk meneladani pola kepatuhan Rasulullah terhadap semua amar Tuhanya. Salah satu indikator kepatuhan kita kepada Allah dan rasul-Nya adalah dengan membekali diri dengan ilmu pengetahuan, yang hanya kita dapatkan melalui iqra’. Jika pada masa dahulu iqra sudah berarti membaca kondisi sosial, maka makna iqra dalam konteks pengertian sekarang adalah melakukan upaya eksplorasi, meneliti, membaca, menelaah, menemukan, dan bahkan mengembangkannya untuk kepentingan seluas-luasnya bagi kemanusiaan. Bukankah ini juga merupakan apresiasi Rasulullah terhadap orang yang memiliki kemanfaatan bagi orang lain sebagi sebaik-baik manusia. Bahwa orang yang paling baik adalah orang yang memiliki kontribusi besar bagi kemanusiaan, yang ditunjukkan dengan karya-karya positifnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadist nabi:
حدثنا ابو كريب, حدثنا زيد بن حباب عن معاوية بن صالح عن عمر و بن قيس عن عبد الله بن بسر ان اعرابيا قال: يا رسول الله من خير الناس؟  قال: من طال عمره و حسن عمله (الترمذى)       

Hadist di atas merupakan apresiasi Rasulullah terhadap orang yang memiliki kontribusi besar bagi kehidupan. Bahwa orang yang memiliki karya-karya positif
Bagi kehidupan diklaim sebagai manusia terbaik. Dalam hadist lain juga dijelaskan bahwa orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan mengkontribusikannya untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia, diumpamakan sebagai hujan yang menimpa bumi yang di mana bumi tersebut menumbuhsuburkan tanaman yang sangat bermanfaat bagi manusia.

حدثنا محمد بن العالء قال حدثنا بن اسامة عن بريد بن عبدالله عن ابى بردة عن ابى موسى عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: مثل ما بعثنى الله به من الهدى و العلم كمثل الغيث الكثيراصاب ارضا فكانت منها نقية قبلت الماء فانبتت الكلء والعشب الكثير وكانت منها اجادب امسكنت الماء فنفع الله بها الناس فشربوا وسقوا وزرعوا واصابت منها طائفة اخرى انما هي قيعان لاتمسك ماء ولا تنبت كلء فذلك متل من فقه في دين الله ونفعه ما بعثني الله به فعلم وعلم ومثل من لم يرفع بذلك رءسا ولم يقبل هدي الله الذي ارسلت به (البخاري)    

Untuk memiliki kemampuan dan profesionalisme yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran ini, diperlukan adanya upaya maksimalisasi potensi fikir. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an misalnya, bahwa kata yang serumpun dengan kata ‘ilm, fikr, faqih dan yang serumpun dengan tiga kata tersebut, disebutkan secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk atau sebanyak 750 kali. Bahkan kata tersebut, menurut Wan Mohd Daud, merupakan kata yang paling banyak disebutkan dalam Al Qur’an, setelah kata Allah sebanyak 2500 kali, kata rabb 950 dan kata ‘ilm sebanyak 750 kali.
Banyaknya kata ‘ilm dalam Al Qur’an tersebut, menjadi petunjuk jelas bahwa ilmu merupakan salah satu unsur penting penting dalam konsepsi Islam. Oleh karena betapa pentingnya ilmu itulah, maka logis jika wahyu yang pertama kali diturunkan Allah kepada Rasul pilihan-Nya adalah iqra. Iqra adalah satu-satunya sarana terpenting bagi lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbentuknya pribadi insan Ulul Albab.
Dalam hadist Nabi juga dinyatakan bahwa pemahaman terhadap agama, merupakan jalan untuk mencapai kebaikan yang dikehendaki Tuhan, sebagi dinyatakan dalam hadist berikut:

حدثنا سعيد بن عفير قال حدثنا ابن وهب عن يونس عن ابن شهاب قال قال حميد بن عبدالرحمت سمعت معاوية خطيبا يقول سمعت النبي صلي الله عليه وسلم يقول: من يريد الله به خيرا يفقهه في الدين وانما انا قاسم والله يعطي ولن تزال هذه الامة قائمة علي امر الله لا يضر هم من خالفهم حتي ياءتي امر الله (البخاري)  

Urgensi ilmu pengetahuan sebagai sistem Islam ini tampak dalam apresiasi Allah dalam berbagai kesempatan dalam Al Qur’an, maupun rasulullah dalam sejumlah teks hadist. Di dalam Al Qur’an misalnya dinyatakan bahwa Alllah akan memberikan derajat yang tinggi terhadap orang-orang yang berilmu (QS Al Mujadilah: 11), apresiasi Allah terhadap ulama yang memiliki etos ketaqwaan yang tinggi di hadapan Allah (QS Fathir: 28).
Berdasarkan penjelasan kedua ayat ini, dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah hanya akan memberikan penghargaan demikian tinggi terhadap orang yang memiliki kualitas keilmuan yang handal namun ditopang dengan basis keimanan yang kokoh pula. Karena itu pula, kedua ayat ini ekuivalen dengan perintah ber-iqra yang ditopang dengan bismi rabbika al-ladzi khalaq, sebagaimana dalam QS Al Alaq: 1.
Di dalam hadist juga terdapat sejumlah teks yang menganjurkan umat Islam untuk menjadi kelompok yang berilmu, dengan motivasi yang begitu kuat, misalnya adalah apresiasi nabi terhadap seorang ulama yang harganya jauh lebih tinggi dari seorang ahli ibadah. Dalam hadist itu dinyatakan bahwa keutamaan seorang ahli ilmu dibandingkan dengan ahli ibadah laksana keutamaan bulan atas sejumlah bintang. Makna dari hadist tersebut adalah bahwa orang yang memiliki ilmu pengetahuan memiliki kontribusi besar dan kemanfaatan bagi masyarakat luas yang diumpamakan seperti bulan, yang sinarnya bisa menerangi kegelapan dunia.
Insan Ulul Albab adalah komunitas yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari sekian piranti terpenting untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bahwa tuntutan untuk mengembangkan keilmuan merupakan sebuah kemestian karena hanya dengan ilmulah manusia bisa mendapatkan jalan kemudahan untuk “menaklukan” dan mendapatkan kemudahan di dunia dan mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadist nabi berikut:

العلم قبل القول والعمل بالعلم وان العلماء هم ورثة الانبياء ورتوا العلم من اخذه اخذ بحظ وافر ومن سلك طريقا يطلب به علما سهل الله له طريقا الي الجنه و قال جل ذكره انما يخشي الله من عباده العلماء وقال وما يعقلها الا العالمون وقالوا لو كن نسمع او نعقل ما كن في اصحاب السعير وقال هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون وقال النبي صلي الله عليه وسلم من يريد الله به خيرا يفقهه في الدين و انما العلم بالتعلم وقال ابو ذر لو وضعتم الصمصامة علي هذه واشار الي قفاه ثم ظننت اني انفد كلمة سمعتها من النبي صلي الله عليه وسلم قبل ان تجيزوا علي لانفدتها وقال ابن عباس كونوا ربانيين حلماء فقهاء و يقال الرباني الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره (البخاري)

Dalam hadist di atas dinyatakan bahwa siapa pun orang yang mencari ilmu dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mampu memberikan implikasi positif bagi diri dan sesamanya, maka Tuhan menjanjikan kepadanya sebuah jalan kemudahan dari sekian banyak jalan yang dapat ditempuh untuk mencari surga.
Memang tidak banyak penjelasan dalam kitab-kitab syarah hadist terkait dengan makna “jalan menuju surga” sebagaimana disebutkan dalam teks hadist tersebut. Namun hemat penulis bahwa orang yang mengkaji ilmu itu berarti mencari cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang telah mencapai kedekatan diri kepada Allah maka ia dengan mudah akan mendapatkan petunjuk-Nya. Berbekal dengan petunjuk tuhan itulah maka pengkaji ilmu tersebut akan senantiasa berupaya melaksanakan seluruh ajaran Allah, sehingga Allah akan memenuhi janji-Nya dengan menghadirkan surga kepadanya.
Kajian dan pembicaraan mengenai surge tuhan ini akan lebih menarik jika tidak hanya dimaknai sebagai kenikmatan ukhrawi, tetapi juga sejumlah kenikmatan duniawi. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Khomeini, yang menyitir pendapat Shadr al-Muta’allihin, bahwa melihat hal-hal yang menyenangkan itu berarti surga, sebaliknya melihat hal-hal yang tidak menyenangkan berarti itu neraka. Bertolak dari pendapat tersebut, maka segala sesuatu yang dapat membahagiakan hidup bisa berarti “surga” dan sebaliknya segala sesuatu yang menghambat serta menyengsarakan hidup maka itulah “neraka”. Dalam konteks hadist tentang motivasi mencari ilmu di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orang yang melengkapi dirinya dengan ilmu akan mendapatkan kemudahan dalam hidupnya, karena ia dapat menguasai beberapa sektor kehidupan yang mendatangkan sejumlah kebahagiaan. Dengan bekal kemudahan dan kebahagiaan hidupnya di dunia itulah, ia akan dapat berinvestasi demikian banyak yang “buahnya” akan dipetik dan dinikmatinya di akhirat kelak. Dengan makna demikian pulalah, maka hadist ini sejalan dengan teks Al Qur’an yang dijadikan sebagai doa oleh setiap hamba tuhan, agar diberikan kebaikan di dunia dan di akhirat kelak.
Maksimalisasi potensi fikir yang melahirkan ilmu pengetahuan ini, dalam konsepsi islam terintregasi dengan wahyu. Dalam pengertian bahwa pengembangan potensi fikir haruslah didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan. Dalam QS Al Alaq, disebutkan bahwa iqra yang mendasari ilmu pengetahuan adalah iqra bi ism rabbik iqra, yakni pengembangan keilmuan yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan. Dengan kata lain, iqra yang dikembangkan dalam islam adalah ilmu pengetahuan yang berbasis pada nilai-nilai ilahi atau terikat nilai-nilai ketuhanan (value bound), bukan iqra yang sekuler dan bebas nilai (value free).


C.    Kepribadian Ulul Albab
Dalam pandangan islam, mahasiswa merupakan komunitas yang terhormat dan terpuji, karena ia merupakan komunitas yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmuan (scietist) yang diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan penjelasan pada masyarakat dengan pengetahuannya itu. Oleh karenannya, mahasiswa dianggap sebagai komunitas yang penting untuk menggerakkan masyarakat islam khususnya, dan seluruh umat manusia pada umumnya, menuju kekhalifahan yang mampu membaca alam nyata sebagai sebuah keniscayaan ilahiyah, yakni mampu mengintegralkan diri dan melebur dalam kesadaran kemanusiaan dan ketuhanan dalam waktu yang bersamaan.
Untuk mencapai hal yang disebut terakhir, mahasiswa islam dalam melakukan pembacaan alam nyata yang dikembangkan dalam fakultas ilmu-ilu alam, seperti Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu sosial, seperi Ilmu Pendidikan, Ilmu Hukum, Ilmu Ekonomi, Psikologi, Ilmu Bahasa, harus mempunyai dasar-dasar keilmuan ilahiyah yang didasarkan atas pemahaman terhadap wahyu secara baik. Oleh sebab itu, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang memandang keberhasilan pendidikan mahasiswa diukur dengan standard apabila mereka memiliki identitas dan kepribadian sebagai mahasiswa yang mempunyai: (1) ilmu pengetahuan yang luas, (2) penglihatan yang tajam, (3) otak yang cerdas, (4) hati yang lembut dan (5) semangat tinggi karena Allah.
1.      Mempunyai ilmu pengetahuan yang luas
Dalam islam dikenal ada dua teori dan aliran ilmu pengetahuan seperti yang terjadi di Barat, yaitu rasionalisme dan empirisme. Teori rasionalisme dalam Islam dikenal dengan teori qiyas (analogi), yaitu menggunakan metode berpikir rasional. Tokoh dari kalangan ini adalah Ibn Rusyd (1126-1198). Sedangkan Ibn Taymiyah (1262-1328) disebut-sebut sebagai tokoh aliran yang kedua, yaitu aliran empirisme.
Dalam teori rasionalisme disebutkan bahwa ilmu pengetahuan ada dalam dua bentuk yaitu pengetahuan dalam bentuk konsep (tashawur) dan pengetahuan dalam bentuk pembenaran (tashdiq). Jalan untuk memperoleh pengetahuan tashawur adalah dengan jalan menggunakan definisi (al-hadd), sedangkan jalan memperoleh pengetahuan tashdiq adalah silogisme (al-qiyas).
Pandangan ini ditolak oleh Ibn Taymiyah, sebab definisi itu hanya bersifat khabariyah yang tidak disertai oleh bukti-bukti dan alasan yang kuat. Akal menurut teori rasionalisme tidak bisa didefinisikan, akan tetapi kita bisa mengetahui akal. Untuk itu, kata Taymiyah, jslsn untuk mengetahui benda bukan definisi itu sendiri, melainkan pengetahuan tentang obyek itulah yang membentuk pengetahuan.
Sebelumnya, Imam Syafi’i membagi ilmu pada ilmu umum dan ilmu khusus. Ilmu umum adalah ilmu yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh umat islam. Ilmu seperti ini termasuk ilu dasar, seperti shalat, zakat, puasa, haji, larangan zina, bunuh diri, mencuri, miras (minuman keras). Sedangkan ilmu khusus adalah ilmu yang berkaitan dengan princian-perincian kewajiban pokok yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an dan hadits.
Dalam konsep teologi Mu’tazilah, pengetahuan bersumber dari akal, bukan dari wahyu. Oleh karenanya, kewajiban-kewajiban, kebaikan dan keburukan bersumber dari akal ini, bukan dari wahyu,. Sekalipun demikian, kata aliran ini selanjutnya, akal tidak bisa mengetahui hal yang terinci. Bagian yang terakhir ini hanya bisa diketahui melalui wahyu. Pandangan ini sama dengan alira Maturidiyah dan ditentang oleh kalangan Asy’ariyah. Dalam pandangan Asy’ariyah pengetahuan hanya bisa bersmber dari wahyu (syari’ah) bukan melalui akal.
Sementara itu, al-Ghazali membagi ilmu pada ilmu yang terpuji (al-‘Ilm al-Mahmudah) dan ilmu yang tercela (al-‘Ilm al-Madzmumah). Karena perspektif yang dipergunakan adalah azaz manfaat, berguna dan membawa kebaikan pada manusia, al-Ghazali memasukkan ilmu politik sebagai ilmu yang wajib dipelajari, karena politik merupakan prasyarat kesempurnaan pengalaman salah satu syariat islam, yaitu haji. Lebih dari itu, al-Ghazali memasukkan ilmu kedokteran, astronomi dan astrologi, ilmu yang sementara ini dianggap sebagai ilmu umum dan tidak mendapat perhatian dar lembaga pendidikan tinggi agama (seperti pesantren, IAIN dan  STAIN), ke dalam kategori ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap kelompok komunitas masyarakat (fardlu kifayah).
Para pemikir islam abad XX, khususnya setelah Seminar Indonesia Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua kategori, ilmu abadi (perennial knowledge ) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadits dan ilmu yag dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya, selama tidak bertentangan dengan syari’at islam.
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang memandang bahwa seluruh ilmu pengetahuan yang terdapat dalam kategori-kategori yang berbeda tadi perlu dikuasai oleh mahasiswa islam, baik dicapai secara personal maupun kolektif, dalam tempuhan SKS maupun tidak. Atinya, sebagai mahasiswa islam yang bernaung di bawah bendera UIN, setiap personal diharapkan mempunyai gairah untuk mempelajari semua ilmu pengetahuan dengan pandangan bahwa setiap ilmu pengetahuan pasti bernilai guna bagi manusia dan kemanusiaan.
2.      Penglihatan yang tajam
Al-Qur’an memberitahukan kepada kita bahwa melihat sangat penting. Begitu pentingnya melihat, al-Qur’an menyebutkan kata nadhara berikut kata bentukannya sekitar 192 kali, kata bashara beerikut kata bentukannya sekitar 148 kali, dan kata ra’a berikut kata bentukannya sebanyak 328 kali. Al-Qur’an bahkan mengancam orang yang mempunyai penglihatan tetapi ia tidak dapat melihat (mana yang baik dan mana yang buruk) dengan penglihatannya.
Penglihatan yang tajam akan mampu memberikan informasi yang benar tentang segala hal, sehingga dengan itu mahasiswa mampu mengevaluasi, menganalisis dan membedakan informasi yang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan batil, yang selanjutnya ia akan memilih yang baik untuk dikerjakan, memilih yang benar untuk diikuti, dan memiliki yang hak untuk dibela. Oleh karenanya, agar mahasiswa mampu membaca kesunyatan alam secara benar, ia perlu menguasai metodologi pengetahuan, seperti Metode Berpikir, Metodologi Penelitian, Metodologi Studi Islam, Metode Tafsir, Metode Istimbath Hukum (Islam), dan berbagai ilmu metode yang lain. Sebuah penglihatan yang tajam, dengan demikian, mempunyai pengertian kemampuan menganalisis seluruh kenyataan yang dapat ditangkap oleh kelima indera manusia, ditambah dengan kemampuan indera keenam untuk memperoleh ilmu pengetahuan ‘irfaniy.

3.      Otak yang cerdas
Untuk mencapai kemampuan penglihatan yang tajam, mahasiswa diharapkan mempunyai potensi aqliyah, yaitu potensi analisis yang rasional dan obyektif. Potensi sangat penting dimiliki oleh mahasiswa, karena ia merupakan salah satu alat (memperoleh) pengetahuan. Al-Qur’an menyebutkan akal sebanyak 49 kali, yang kesemuanya dalam bentuk kata kerja (verb). Al-Qur’an menyebutkan “berfikir”, sebagai wujud dari pengguanaan potensi akal, dalam bentuk kata fakkara (berikut kata bentukannya) sebanyak 18 kali, yang kesemuanya juga dalam bentuk kata kerja (verb). Sedangkan dalam bentuk kata faqaha (memahami-wujud lain dari fungsi akal), berikut kata bentuknya disebutkan al-Qur’an sebanyak 20 kali, yang kesemuanya juga dalam bentuk kata kerja (verb). Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa potensi dasar akal sesungguhnya aktif, tidak pasif. Manusialah yang membuatnya menjadi pasif dengan tidak memikirkan bagaimana alam ini diciptakan, bagaimana gunung ditinggikan, bagaimana hubungan sosial dapat menciptakan keharmonisan dan konflik, bagaimana manusia menciptakan kebudayaan dan seterusnya.
Al Farabi (870-950 M), seorang filosof muslim yang berasal dari Transoxania, memandang bahwa daya berfikir manusia terdiri dari tiga tingkatan, yaitu material intellect (al-‘aql al-hayulaniy), actual intlect (al-‘aql bi al-fi’l), dan acquired intellect (al-‘aql al-mustafad). Sementara itu, Ibnu Sina (980-1037 M) membagi daya ini menjadi empat tingkatan, yaitu: material intellect (al-‘aql al-hayulany), intelectus in habitu (al-‘aql al-milkah), actualintelect (al-‘aql bi al-fi’l), dan acquired intellect (al-‘aql al-mustafad).
Dalam kajian psikologi, ada yang disebut dengan test intelligent quotion (IQ), untuk pertama kalinya dilaksanakan oleh Binet dan dipublikasikan pada tahun 1305. Model test yang ditemukan oleh Binet tersebut kemudian dikembangkan oleh Stern dengan nalar bahwa umur mental (mental age/ MA) dan umur kronologis (chronological age/ CA) bagi anak normal terdapat rasio. Yang dapat kita ambil hikmanya dari kajian psikologis tentang intelegensi manusia ialah bahwa semakin dewasa umur dan mental seseorang, semakin cerdas juga ia dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “otak yang cerdas” dipahami dengan ithlaq al-juz wa iradat al-hal, menyebutkan juz’iyat tetapi yang dimaksudkan adalah sifat dan prilakunya. Otak yang cerdas, secara akademik barangkali diukur dengan nilai indeks prestasi (IP) yang diperoleh, tetapi dalam perilaku sehari-hari diukur dengan bagaimana ia dapat mengidentifikasi persoalan yang dihadapi, memilih dan memilah, melakukan evaluasi dan analisis, kemudian menyelesaikan persoalan tersebut dengan cepat (dalam ukuran waktu tidak mengakibatkan penumpukan persoalan), tepat (sesuai dengan dasar keilmiahan) dan benar (dalam ukuran agama dan etika).
4.      Hati yang lembut
Dalam Al Qur’an, hati terkadang disebut dengan menggunakan kata qalbun dan terkadang dengan kata af’idatun. Kata qalbun berikut kata bentuknya disebutkan dalam Al Qur’an sebanyak 135 kali, sedangkan kata af’idatun berikut kata bentuknya disebut sebanyak 16 kali. Yang menarik ditegaskan di sini bahwa al-Qur’an terkadang menyebut kalbu yang berfikir dan kalbu dan tidak melihat, kalbu yang tidak mendengar, kalbu yang tidak memahami,kalbu yang tidak mengetahui, dan bahkan kalbu yang berarti telinga.
Secara biologis kalbu hanya ada satu. Meski secara biologis hanya ada satu kalbu, akan tetapi dengan bebrapa potensi yang dimilikinya, kalbu mudah melakukan perubahan-perubahan dari apa yang ditetapkannya sendiri. Perubahan-perubahan hati tersebut digambarkan dalam bentuk kata kerja (verb)nya, yaitu qalaba. Kata ini berikut beberapa kata bentuknya dalam al-Qur’an tersebut 33 kali.
Dalam hidup bermasyarakat, hati adalah terminal dan sumber segala sesuatu yang berhubungan dengan perilaku setiap individu. Dengan kata lain, perilaku yang termanifastasikan dalam kehidupan sehari-hari merupakan cerminan dari perilaku kalbu. Dalam hal yang berhubungan dengan ilmu(pengetahuan), hati merupakan terminal pengetahuanyang diperoleh melalui cerapan indera. Indera memberikan informasi tentang sesuatu yang ditangkapnya kepada akal, akal memproses, mengevaluasi, dan menilai informasi yang dikirim indera, dan kemudian berlabuh dalam hati menjadi sebuah keyakinan. Keyakinan inilah yang dicari pengetahuan dan disebut dengan “kebenaran”.
Dilihat dari hubungan subyek dan obyeknya, kebenaran dapat dibagi pada dua macam, yaitu kebenenaran ontologis dan kebenaran logis. Kebenaran ontologis ialah kebenaran yang ada pada obyek, sedangkan kebenaran logis ialah kebenaran putusan subyek dalam memberikan nalar tentang obyek. Sedangkan ditinjau dari tingkatnya , kebenaran dapat dibagi pada kebenaran mutlak (kebenaran yang datang dari Tuhan), kebenaran nisbi (kebenaran yang diperoleh manusia) dan kebenaran dasar (kebenaran manusia yang masih membutuhkan penegasan lagi). Di bawah kebenaran dasar ini, tidak disebut dengan kebenaran, karena kebenaran dasar merupakan tingkatan terendah dari sebuah kebenaran.
Agar mahasiswa mempunyai penglihatan yang tajam dan otak yang cerdas diperlukan hati yang lembut, yaitu hati yang dapat menerima kebenaran yang datang dari Allah swt. Sebab, al-Qur’an menggambarkan ada kalbu yang keras (ghalidh al-qalb) yang menolak petunjuk (hidayah) Allah swt. Ghalidh al-qalb diidentifikasi oleh al-Qur’an sebagai kalbu yang sakit (maridl al-galb) dan tidak bisa membaca alam sebagai ciptaan Allah, bahkan mereka mempertanyakan untuk apa semua itu diciptakan. Itulah sebabnya, agar mahasiswa mampu membaca alam tidak hanya sebagai sebuah kesunyatan, melainkan diyakini juga sebagai suatu kenyataan ilahiyah, mahasiswa diharapkan mempunyai hati yang lembut, suci, bersih dan putih.
5.      Semangat tinggi karena Allah
Semangat tinggi mempunyai pengertian bahwa dalam menempuh studi dan kehidupannya, mahasiswa diharapkan mempunyai dasar jihad, yaitu semangat yang tinggi untuk mencapai tujuannya. Kata jihad (Arab) berasal dari kata jahada, mujhadatan wa jihadan. Dilihat dari akar katanya, kata ini berkaitan dengan sebuah upaya yang dilakukan dengan sekuat tenaga hingga mencapai puncak kekuatan dan kemampuan (juhaadaa). Untuk itu, orang Arab menyebut dinas militer, sebuah dinas yang mengandalkan kemampuan yang luar biasa, dengan jahadiyyah dan menyebut tanah keras atau tanah yang tidak mempunyai tumbuh-tumbuhan dengan jahaad yang bentuk plularnya juhud, serta menyebut orang yang bekerja sekuat tenaga, bersungguh-sungguh dan mengeluarkan semua kemampuannya dengan jaahid. Sedangkan kata juhida dipergunakan orang Arab untuk menyebut orang kurus karena bekerja keras.      
Kata ini pertama kali ditemukan dalam al-Qur’an pada surah al-Baqarah (2):218. Ayat ini turun berkaitan dengan pertanyaan pada sahabat adakah peperangan yang diberi pahala para mujahid? Kemudian Allah swt menurunkan QS. Al-Baqarah (2):218. Sementara dalam QS. al-Nisa’ (4):95 kata ini diulang dalam satu ayat sebanyak tiga kali. Ayat ini menjelaskan tentang keutamaan orang-orang yang berjihad. Menurut riwayat Abi Dawud dari Zaid bin Tsabit berkata:
    
“Saya berada di dekat Nabi saw., maka saya menyelubungkan pedang Nabi saw dsn tiba-tiba paha Nabi menimpa di atas paha ku. Saya tidak pernah merasakan beratnya sesuatu lebih dari paha Nabi. Kemudian Nabi terasa ringan dan bersabda: “Tulis”. Saya pun kemudian menulis “….” Setelah mendengar keutamaan para mujtahid, Ummu Maktum, seorag laki-laki yang buta, berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah bagaimana orang mukmin yang tidak bisa ikut berperang? Setelah dia selesai berbicara, saya kemudian menyelubungkan pedang Nabi. Tiba-tiba paha Nabi menimpa di atas saya, saya pun merasakan berat kedua kalinya yang sama dengan kali yang pertama. Kemudian Nabi terasa ringan dan bersabda: “Wahai Zaid bacalah”, saya membacakan “….”, maka Nabi bersabda “Ghayru Ulidldlaruri” sampai akhir ayat.

Sekalipun dalam kedua ayat di atas, bahkan beberapa ayat yang lain, kata jihad berhubungan dengan perang, kata ini tidak hanya menunjukkan pada jihad dengan pedang. Dalam QS. al-Ankabut:6 misalnya, kata ini mempunyai pengertian yang sama dengan amal saleh atau pekerjaan-pekerjaan untuk mentaati syariat. Oleh karenanya dalam menafsirkan ayat ini Imam Hasan Al-Bishriy mengatakan bahwa setiap manusia pasti melakukan jihad, sekalipun pada suatu ketika tidak dengan menggunakan pedang. Sebab itu, jihad dalam sebuah studi tidak diartikan dengan mengangkat senjata untuk memperoleh kemenangan dalam sebuah perang, melainkan berusaha sekuat tenaga dengan mengangkat pena untuk memperoleh pengetahuan yang dicita-citakan dalam rangka memerangi hawa nafsu yang akan menghancurkan dan merusaknya.
               

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Demikian, dapat dinyatakan bahwa karakteristik dan cirri-ciri ulul albab adalah memiliki kualitas berupa kekuatan dzikir, fikir dan amal shaleh. Atau dalam bahas lain, masyarakat yang mempunyai status ulul albab adalah mereka yang memenuhi indikator berikut:
y       Memiliki ketajaman analisis;
y       Memiliki kepekaan spiritual;
y       Optimisme dalam menghadapi hidup;
y       Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani, individual-sosial dan keseimbangan dunia-akhirat;
y       Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan;
y       Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial;
y       Memiliki kemandirian dan tanggung jawab; dan
y       Berkepribadian kokoh;

Dasar Ulul Albab adalah QS Al Alaq ayat 1-5:
           
اقرء باسم ربك الذى خلق. خلق الانسان من علق. اقرء وربك الاكرم. الذى علم بالقلم. علم الانسان مالم يعلم (  العلق: 1-5)

Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan (1) Dia telah mencipakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan tuhanmulah yang paling pemurah (3) Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)

Identitas dan kepribadian sebagai mahasiswa Ulul Albab yang mempunyai: (1) ilmu pengetahuan yang luas, (2) penglihatan yang tajam, (3) otak yang cerdas, (4) hati yang lembut dan (5) semangat tinggi karena Allah.

B.     Saran
Sebagai mahasiswa UIN Maliki Malang yang berlandaskan Ulul Albab, sudah sepatutnya kita mengilhami atau memahami makna Ulul Albab secara mendalam dan diterapkan dalam kepribadian kita seperti kepribadian yang telah dibahas di awal. Sekian!!!!!!!!
DAFTAR PUSTAKA



Tim penulis, 2010, Tarbiyah Ulul Albab, UIN-Malang Press, Malang


1 komentar: